Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Sabtu, 02 Mei 2009

Kesederhanaan Sang Juru Kunci



( Artikel ditulis 21 September 2008 )

Beberapa hari terakhir ini berita-berita di televisi heboh dengan pemberitaan
akan meletusnya Gunung Merapi, atau yang dalam literatur Jawa kuno disebut
sebagai Gunung Candrageni. Benarkah Gunung Merapi akan meletus?

Beberapa waktu lalu, Mbah Marijan, juru kunci Merapi pernah diwawancarai di
Jogja TV selama sekitar kurang lebih 1 jam. Saya sangat terkesan dengan sosok
Mbah Marijan: keluguan dan kesederhanaannya. Dia tidak bisa menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik, dan menjawab semua pertanyaan dalam bahasa Jawa halus.
Sayangnya, penyiar Yogya TV yang mewancarai Mbah Marijan tidak menguasai bahasa
Jawa dengan baik. Sehingga sering terjadi salah-sambung antara keduanya:
ditanya begini jawabnya begitu, ditanya begitu jawabnya begini. Namun dalam
kesederhanaan dan keluguannya, toh tetap tersirat betapa mendalam kebijaksaan
Mbah Marijan. Tentang kebijaksaan yang lugu dan alami ini, seorang penulis dan
praktisi Tao dari Barat, Benjamin Hoff, menuils tentang Winnie The Pooh: tokoh
kartun yang lugu dan 'bodoh'. Namun dalam 'kebodohannya' justru terpancar
kebaikan dan kebajikannya yang begitu natural. (Benjamin Hoff: The Tao of
Pooh).

"Kula niki tiyang bodho," saya ini orang bodoh, begitu kalimat yang terus
menerus diulang Mbah Marijan dalam wawancara tersebut. Dia mengaku tidak
tahu-menahu tentang alat-alat canggih yang dimiliki ahli volkanologi yang
meramalkan Gunung Merapi akan meletus. Dia hanya membaca tanda-tanda alam. Dan
dari isyarat-isyarat alam yang ia tangkap, saat wawancara tersebut Mbah Marijan
mengatakan bahwa Gunung Merapi belum akan meletus. Mbah Marijan sangat dekat
dengan alam, dan sangat menghormati alam dan Kehidupan secara keseluruhan.
Kebajikan itulah yang telah hilang dalam teknologi Barat. Kebudayaan Barat
dengan kecanggihan teknologinya dan paham kapitalismenya telah melupakan inti
kebijaksanaan yang paling mendalam: bahwa manusia adalah bagian yang tak
terpisahkan dari alam semesta. Orang Barat meng-eksploitasi alam untuk
memperkaya pemilik modal atau kapitalis, orang Jawa menjaga harmoni dalam
kehidupannya bersama alam.

Betapa Mbah Marijan sangat menghormati alam, nampak dalam keyakinan ini:
bahwa saat terlihat kepulan asap dan debu pekat keluar dari moncong Gunung
Merapi, seharusnya orang tak boleh menyebutnya sebagai wedhus gembel, seperti
yang biasa dilakukan orang, "E, kae lho, ana wedhus gembel." Sebaliknya kita
harus berkata begini, "Assalamualaikum. Dhuh Gusti, kawula nyuwun slamet." Ini
mengingatkan saya pada Santo Fransiskus dari Asisi yang sangat menyatu dengan
alam, bahkan berbincang-bincang dengan matahari atau seeokor ikan, karena
menganggap mereka adalah saudaranya.

Satu hal yang dikritik Mbah Marijan adalah: eksploitasi besar-besaran dengan
menggunakan alat-alat berat untuk mengeruk pasir dari lereng Gunung Merapi dan
membawanya keluar wilayah Gunung Merapi. Makin dalam kerukan pasir, makin sulit
tertimbun kembali, sehingga padang rumput pun makin lama makin sempit... dan
penduduk sekitar yang sebagian besar beternak sapi perah untuk mencari nafkah
kesulitan mencari pakan bagi ternak mereka. Menurut Mbah Marijan: hal ini
mengganggu keseimbangan alam. Dan jika keseimbangan alam terganggu: maka bumi
pun akan horeg dan gonjang-ganjing. Dalam pemahaman Mbah Marijan, alam adalah
satu-kesatuan: dari yang paling kecil hingga yang paling besar, dari yang kasar
hingga yang tak kasat mata. Dan jika terjadi ketidakseimbangan di satu titik:
katakanlah manusia menjadi terlalu serakah atau tamak, itu akan membuat
kaki-kaki bumi goyah... dan roh-roh halus penghuni dasar bumi akan marah dan
meminta tumbal darah!

Yohanes Sutopo : The Tao Of Mbah Marijan

Read More......

Selasa, 21 April 2009

KODE ETIK PECINTA ALAM INDONESIA


KODE ETIK PECINTA ALAM INDONESIA


PENCINTA ALAM SADAR BAHWA ALAM DAN ISINYA

ADALAH CIPTAAN TUHAN YANG MAHA ESA

PECINTA ALAM INDONESIA SEBAGAI BAGIAN DARI

MASYARAKAT INDONESIA SADAR AKAN TANGGUNG JAWAB-NYA TERHADAP TUHAN, BANGSA DAN TANAH AIR

PECINTA ALAM INDONESIA SADAR BAHWA PENCINTA ALAM

SEBAGAI MAHLUK YANG MENCINTAI ALAM SEBAGAI ANUGERAH TUHAN YANG MAHA ESA

Sesuai dengan hakekat diatas, kami dengan kesadaran menyatakan :

1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhan.
3. Mengabdi kepada bangsa dam tamah air.
4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dengan kerabatnya.
5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antar pecinta alam sesuai dengan azaz pecinta alam.
6. Berusaha saling membantu dan saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa, dan Tanah Air.
7. Selesai


Disusun dan disyahkan bersama dalam acara Gladian ke IV
di Ujung Pandang, tahun 1974

Read More......